ABout Me

Foto saya
One time I wanted to create a captive butterfly. Not to detain them, nor to steal their freedom, I just wanna feel the beauty right in front of my eyes. The beauty of this moment never existed, never felt the majority of people. The beauty of a freedom. Independence entirely!

Sabtu, 08 Oktober 2011

dongeng seorang kawan

Menjadi Pemain Ke-12

Adalah kami warga Malang,orang Malang,"Arek Malang". Sebagian dari orang-orang sering melafalkannya dengan sebutan "Genaro Malang" atau "Kera Ngalam". Menjadi manusia yang terlahir di sebuah wilayah yang familiar disebut "Malang Raya" (Kota Malang, Kabupaten Malang&Kota Batu), akan membuatmu hampir secara otomatis dibaptis menjadi pendukung sebuah klub sepakbola. Satu klub sepakbola yang paling dipuja di kawasan itu.Tak lain dan tak bukan ialah AREMA. Maka orang-orang yang aktif menyalurkan dukungannya pada klub bersimbolkepalasingaitu, Aremania-lah sebutannya. Klubyangberdiri pada tahun 1987 ini, merupakan anggota liga utama di Indonesia. Peraih 1 gelar juara Galatama, 1 gelar Liga Indonesia, 1 gelar kompetisi level II&sepasang gelar Piala Indonesia. Tidak terlalu istimewa memang, meski tak bisa disebut nihil prestasi. Saat pekan-pekan pertandingan home digelar, menatap jalan-jalan di 3 wilayah administratif kota-kabupaten tersebut, kita akan menyaksikan lalu-lalang manusia beratribut biru. Dari kaos, syal, hingga kibaran bendera. Manusia segala usia, beragam latar belakang profesi, jenis kelamin&keyakinan keagamaan, berduyun-duyun bergerak ke stadion. Bila dahulu kala, titik yang dituju bernama Gajayana, maka beberapa tahun belakangan rute itu bergaris finis Kanjuruhan. Sementara bagi mereka yang tak bisa hadir langsung &kebetulan stasiun swasta menyiarkannya, mereka akan berkumpul. Duduk antusias dalam hiruk-pikuk siaran langsung televisi. Selanjutnya, gang dan jalan di beberapa kampung akan tampak sedikit lebih sepi. Itu lah mereka, ritual mereka, tahun ke tahun, generasi ke generasi. Lalu, merupakan pemandangan yang biasa saja, jika jumlah tembok di kota dan desa disemprot cat bertulis "AREMA" atau "Aremania" makin bertambah, seolah sedang bersaing dengan menjamurnya outlet-outlet merchandise Arema. Sampai menjadi hal yang tak mengundang decak kagum, saat kau menemui warung nasi, penjual bakso, PKL, tukang cukur, bengkel, rental vcd, gym, warnet, angkutan umum, toko sembako, studio musik, gerobak sampah, banner promo universitas, berikut para kandidat yang bersaing di Pilkada, melabelkan "AREMA" sebagai brand nya. Kata seorang kerabat, mungkin hanya tempat ibadah lah yang absen menggunakan label tersebut. Label yang tampaknya sudah menjadi semacam identitas kebudayaan bagi tak sedikit penduduk Malang.

Menyebut Arema dengan Aremania-nya, maka kita akan menjadi pembohong bila tidak mentautkannya lansung dengan Persebaya&kemudian Bonek. Ini adalah rivalitas. Ini adalah sejarah kebencian. Sejenis kebencian genetik yang sukar diurai. Bila dalam jagad sepakbola dunia, kita mengenal perseteruan Barca kontra Madrid dan Derby Andalucia di Spanyol. Intenazionale versus Milan, Lazio versus Roma, Club Utara musuh Club Selatan di Italy. Lalu negeri Elizabeth, dengan duo Manchester, Everton-Liverpool dan pergulatan club-club London. Maka ini terasa beda, sungguh berbeda. Tidak pula bisa dijelaskan layaknya kita memahami Boca Junior berhadapan dengan River Plate, dalam tajuk "Super Clasico" di Argentina. Pun tak serupa Galatasaray versus Fernebachedi Turkey. Bahkan mungkin juga masih lebih ekstrem dari West Ham dengan barisan GSE-nya melawan pendukung Milwall. Permusuhan Aremania kontra Bonek layak nya sebuah kutukan. Dari waktu ke waktu semakin kelam. Sebuah ilustrasi pribadi bisa sedikit saya bagi. Saat masih duduk di bangku SMP, suatu waktu, seorang paman dengan bersemangat menarik tangan saya. Mengajak bergegas ke jalan. Lalu dalam hitungan menit, seorang bocah seketika menyaksikan pamannya bergabung dengan beberapa pria. Mereka membikin gaduh jalanan. Judul kegaduhan itu tak lain bernama sweeping kendaraan bermotor. Saya menonton bagaimana paman ikut bersorak ketika kendaraan berplat "L", satu-persatu mulai dirusak. Dari motor, tak terkecuali roda empat. Saya menyaksikan bagaimana pria-pria itu mengeluarkan kata-kata makian. Lalu sebuah batu besar melayang, menghantam kaca BMW yang baru saja melintas. Sepulang dari pertunjukan jalanan itu, dengan lirih paman berucap: "Deloken iki, Le! Iki kelakuane suporeter e Persebaya". Luka bacok di punggung Paman jelas membekas. Dan saat itu sontak saja saya menangkap sebuah pesan: Ini adalah perang!!!

Tahun berganti, waktu bergerak maju. Saya bukan lagi seorang bocah. Namun, perseteruan tak jua menunjukkan tanda-tanda akan meredup, apalagi usai. Tak ada mimpi tentang traktat perdamaian. Saat masa kuliah dulu, kala liburan tiba&pulang kampung. Saya akan mendengar dongeng kusam berbungkus baru. Sepupu saya, dengan berkobar-kobar mendeskripsikan bentrok Sidoarjo. Ia berdiri di depan jilatan api dari mobil-mobil yang terbakar. Sebuah aksi balasan dituntaskan, ongkos bagi kendaraan rombongan Aremania yang dirusak para Bonek. Lalu sahabat saya, seorang sopir truk, akan melanjutkan cerita tentang aksi ribuan Aremania yang "ngelurug" ke Kediri. Penyerangan massal dan rusaknya Stadion Brawijaya, diceritakan dengan akhiran: "Sak jane Aremania iku cinta damai. Kecuali lek kunu ngedol, yo wajib dipayu, Rek!". Satu kalimat apalogis yang sungguh absurd. Dan hari-hari sekarang, semua nya belum beranjak kemana-kemana, kecuali semakin mengeras. Bocah-bocah di bawah 12 tahun sudah demikian antusiasnya mendukung Singo Edan. Bersamaan dengan masa pertumbuhannya, mereka cukup fasih dengan satu prima doktrin: bahwa Bonek adalah musuh besar! Kemudian, kita akan melihat secuil keganjilan. Orang-orang tua akan murka bila putera nya memiliki kegemaran memaki. Namun bila yang keluar dari bibirnya sejenis umpatan: "Bonek Jancuk!", "Bonek Anake Balon!", "Bonek Suporter Goblok!", maka tak jarang bocah-bocah yang belum berani kencing sendiri di malam hari itu, akan dibiarkan. Bahkan ada pula yang mendapatkan tepukan di pundak atau elusan di kepala dari sang ayah. Mars wajib yang tak terlupakan di tiap laga sepastinya adalah lagu makian! Di lain tempat, pemandangan yang tak kalah membara bisa kita peroleh dari kubu yang berlawanan. Saya memiliki beberapa kenalan&sahabat "Arek Suroboyo". Maka kesaksian mereka pun hampir serupa. Sebuah syariat baku masih berjalan: kau tak akan pernah menjadi benar-benar Aremania bila belum memekik: "Bonek Jancuk!", begitu juga sebaliknya, "Aremania Jancuk!".

Permusuhan bergenerasi itu kini sudah menjadi kanker. Semakin lama dibiarkan, semakin berbahaya. Liga akan segera dimulai. Apakah kanker ini akan meningkat stadium nya?? Keputusan sepenuhnya ada di tangan kalian, para "Pemain ke-12" ! "Jugador njadi Pemain Ke-12

Adalah kami warga Malang,orang Malang,"Arek Malang". Sebagian dari orang-orang sering melafalkannya dengan sebutan "Genaro Malang" atau "Kera Ngalam". Menjadi manusia yang terlahir di sebuah wilayah yang familiar disebut "Malang Raya" (Kota Malang, Kabupaten Malang&Kota Batu), akan membuatmu hampir secara otomatis dibaptis menjadi pendukung sebuah klub sepakbola. Satu klub sepakbola yang paling dipuja di kawasan itu.Tak lain dan tak bukan ialah AREMA. Maka orang-orang yang aktif menyalurkan dukungannya pada klub bersimbolkepalasingaitu, Aremania-lah sebutannya. Klubyangberdiri pada tahun 1987 ini, merupakan anggota liga utama di Indonesia. Peraih 1 gelar juara Galatama, 1 gelar Liga Indonesia, 1 gelar kompetisi level II&sepasang gelar Piala Indonesia. Tidak terlalu istimewa memang, meski tak bisa disebut nihil prestasi. Saat pekan-pekan pertandingan home digelar, menatap jalan-jalan di 3 wilayah administratif kota-kabupaten tersebut, kita akan menyaksikan lalu-lalang manusia beratribut biru. Dari kaos, syal, hingga kibaran bendera. Manusia segala usia, beragam latar belakang profesi, jenis kelamin&keyakinan keagamaan, berduyun-duyun bergerak ke stadion. Bila dahulu kala, titik yang dituju bernama Gajayana, maka beberapa tahun belakangan rute itu bergaris finis Kanjuruhan. Sementara bagi mereka yang tak bisa hadir langsung &kebetulan stasiun swasta menyiarkannya, mereka akan berkumpul. Duduk antusias dalam hiruk-pikuk siaran langsung televisi. Selanjutnya, gang dan jalan di beberapa kampung akan tampak sedikit lebih sepi. Itu lah mereka, ritual mereka, tahun ke tahun, generasi ke generasi. Lalu, merupakan pemandangan yang biasa saja, jika jumlah tembok di kota dan desa disemprot cat bertulis "AREMA" atau "Aremania" makin bertambah, seolah sedang bersaing dengan menjamurnya outlet-outlet merchandise Arema. Sampai menjadi hal yang tak mengundang decak kagum, saat kau menemui warung nasi, penjual bakso, PKL, tukang cukur, bengkel, rental vcd, gym, warnet, angkutan umum, toko sembako, studio musik, gerobak sampah, banner promo universitas, berikut para kandidat yang bersaing di Pilkada, melabelkan "AREMA" sebagai brand nya. Kata seorang kerabat, mungkin hanya tempat ibadah lah yang absen menggunakan label tersebut. Label yang tampaknya sudah menjadi semacam identitas kebudayaan bagi tak sedikit penduduk Malang.

Menyebut Arema dengan Aremania-nya, maka kita akan menjadi pembohong bila tidak mentautkannya lansung dengan Persebaya&kemudian Bonek. Ini adalah rivalitas. Ini adalah sejarah kebencian. Sejenis kebencian genetik yang sukar diurai. Bila dalam jagad sepakbola dunia, kita mengenal perseteruan Barca kontra Madrid dan Derby Andalucia di Spanyol. Intenazionale versus Milan, Lazio versus Roma, Club Utara musuh Club Selatan di Italy. Lalu negeri Elizabeth, dengan duo Manchester, Everton-Liverpool dan pergulatan club-club London. Maka ini terasa beda, sungguh berbeda. Tidak pula bisa dijelaskan layaknya kita memahami Boca Junior berhadapan dengan River Plate, dalam tajuk "Super Clasico" di Argentina. Pun tak serupa Galatasaray versus Fernebachedi Turkey. Bahkan mungkin juga masih lebih ekstrem dari West Ham dengan barisan GSE-nya melawan pendukung Milwall. Permusuhan Aremania kontra Bonek layak nya sebuah kutukan. Dari waktu ke waktu semakin kelam. Sebuah ilustrasi pribadi bisa sedikit saya bagi. Saat masih duduk di bangku SMP, suatu waktu, seorang paman dengan bersemangat menarik tangan saya. Mengajak bergegas ke jalan. Lalu dalam hitungan menit, seorang bocah seketika menyaksikan pamannya bergabung dengan beberapa pria. Mereka membikin gaduh jalanan. Judul kegaduhan itu tak lain bernama sweeping kendaraan bermotor. Saya menonton bagaimana paman ikut bersorak ketika kendaraan berplat "L", satu-persatu mulai dirusak. Dari motor, tak terkecuali roda empat. Saya menyaksikan bagaimana pria-pria itu mengeluarkan kata-kata makian. Lalu sebuah batu besar melayang, menghantam kaca BMW yang baru saja melintas. Sepulang dari pertunjukan jalanan itu, dengan lirih paman berucap: "Deloken iki, Le! Iki kelakuane suporeter e Persebaya". Luka bacok di punggung Paman jelas membekas. Dan saat itu sontak saja saya menangkap sebuah pesan: Ini adalah perang!!!

Tahun berganti, waktu bergerak maju. Saya bukan lagi seorang bocah. Namun, perseteruan tak jua menunjukkan tanda-tanda akan meredup, apalagi usai. Tak ada mimpi tentang traktat perdamaian. Saat masa kuliah dulu, kala liburan tiba&pulang kampung. Saya akan mendengar dongeng kusam berbungkus baru. Sepupu saya, dengan berkobar-kobar mendeskripsikan bentrok Sidoarjo. Ia berdiri di depan jilatan api dari mobil-mobil yang terbakar. Sebuah aksi balasan dituntaskan, ongkos bagi kendaraan rombongan Aremania yang dirusak para Bonek. Lalu sahabat saya, seorang sopir truk, akan melanjutkan cerita tentang aksi ribuan Aremania yang "ngelurug" ke Kediri. Penyerangan massal dan rusaknya Stadion Brawijaya, diceritakan dengan akhiran: "Sak jane Aremania iku cinta damai. Kecuali lek kunu ngedol, yo wajib dipayu, Rek!". Satu kalimat apalogis yang sungguh absurd. Dan hari-hari sekarang, semua nya belum beranjak kemana-kemana, kecuali semakin mengeras. Bocah-bocah di bawah 12 tahun sudah demikian antusiasnya mendukung Singo Edan. Bersamaan dengan masa pertumbuhannya, mereka cukup fasih dengan satu prima doktrin: bahwa Bonek adalah musuh besar! Kemudian, kita akan melihat secuil keganjilan. Orang-orang tua akan murka bila putera nya memiliki kegemaran memaki. Namun bila yang keluar dari bibirnya sejenis umpatan: "Bonek Jancuk!", "Bonek Anake Balon!", "Bonek Suporter Goblok!", maka tak jarang bocah-bocah yang belum berani kencing sendiri di malam hari itu, akan dibiarkan. Bahkan ada pula yang mendapatkan tepukan di pundak atau elusan di kepala dari sang ayah. Mars wajib yang tak terlupakan di tiap laga sepastinya adalah lagu makian! Di lain tempat, pemandangan yang tak kalah membara bisa kita peroleh dari kubu yang berlawanan. Saya memiliki beberapa kenalan&sahabat "Arek Suroboyo". Maka kesaksian mereka pun hampir serupa. Sebuah syariat baku masih berjalan: kau tak akan pernah menjadi benar-benar Aremania bila belum memekik: "Bonek Jancuk!", begitu juga sebaliknya, "Aremania Jancuk!".

Permusuhan bergenerasi itu kini sudah menjadi kanker. Semakin lama dibiarkan, semakin berbahaya. Liga akan segera dimulai. Apakah kanker ini akan meningkat stadium nya?? Keputusan sepenuhnya ada di tangan kalian, para "Pemain ke-12" ! "Jugador XII"!!

Published with Blogger-droid v1.7.4